MR. TJ Si Raksasa Jalanan - Feature



‘MR. TJ’ begitulah yang terukir di depan kaca truk hijau bermuatan 32 ton batubara itu. Ukiran yang tak lain adalah singkatan dari nama Tuannya sendiri, Tanjung. Pria yang satu tahun lagi genap berusia setengah abad ini, masih terlihat gagah dan perkasa. Meski hampir seluruh kepala sudah di dominasi warna putih, kecuali kepala bagian belakangnya.

Perut yang buncit khas para supir truk, terlihat jelas walau tersembunyi di balik baju ‘ketebe’ bergaris abu-abu yang dikenakannya. Kepulan asap yang pamit dari bibir, di tambah kalung rantai berwarna silver yang bergelantung di lehernya menambah kesan sangar. Siapapun yang melihatnya tentu akan bergidik ngeri. “Biar agak reman juga lah. Biar jangan terlalu dianggap sepele sama orang” jelas Tanjung.

TJ memang panggilan akrab bapak tiga anak itu. Siapa yang tak kenal dengannya? Hampir seantero Kota Perawang, selagi mereka adalah penghuni lama maka akan langsung mengenalinya. Sejak kota kecil ini masih hutan belantara, ia sudah lebih dulu tinggal dan menetap. Kurang lebih sekitar 31 tahun, terhitung sejak 1989 silam. Katakanlah, Perawang sudah menjadi kampung halamannya. Sebab tak ada tempat berpulang selain disini.

Menjadi ‘raksasa jalanan’ tidak lagi terhitung satu atau dua hari, melainkan sudah 20 tahun. Mulai dari menjadi supir aspal, supir batu dan pasir hingga saat ini menjadi supir batubara. “Kemaren ada juga bawa mobil aspal, pernah juga bawa mobil sertu, terus sekarang bawa mobil batubara”. Semua sudah dijajalinya. Tentu saja kata ‘senior’ pantas melekat.

Senior supir truk ini sudah lama menikmati asam garam perjalanan. Jalan nan licin, curam, berlubang, zig zag, dan rawan akan korban, dilalui sendirian. Ah, tidak. Ia ditemani teman setianya. Ya, beberapa batang rokok. Rokok menjadi teman dikala kantuk mulai melanda. “Haa inilah, kadang-kadang rokok inilah yang membantu. Makanya kami supir susah meninggalkan rokok. Cuma ya kita jaga juga kesehatan, jangan terlalu banyak” terang Tanjung sembari menunjukkan sebatang rokok yang diapit jemarinya.

Tak hanya itu, momen di palak pun tak mau ketinggalan mengambil peran. Handphone, dompet, dan uang jadi sasaran empuk Si Reman. “Pernah juga, cuma ya mungkin nengok rambut bapak udah tua jadi agak kasihan, gak mau ganggu lah. Tapi yang muda-muda sering di ganggu, di kompas pernah. Pernah diambil HP, uang, dompet di ambil pernah, kawan-kawan bapak itu” urainya.

Jadwal dinas yang lintas provinsi, membuat ia lebih sering menghabiskan waktu di jalanan daripada di rumah bersama keluarga tecinta. “Kalo sekarang dari Muara Bungo, Provinsi Jambi ke Pekanbaru/Perawang, Provinsi Riau. Kadang-kadang kalo ada tarikan bos dari Jambi, Muara Bungo ke WKS ada juga. Ya gak nentulah. Kadang ada juga ke Padang dari Muara Bungo” jelasnya. Tak jarang, ditengah perjalanan truk bisa saja mogok, rusak, atau minimal pecah ban. Beruntung, solidaritas antar sesama supir sangat tinggi. Tak perlu di ragukan lagi.  Jadi, saban waktu ada yang butuh bantuan, mereka siap sedia saling mengulurkan tangan.

“Kadang kita antre muat berhari-hari. Kadang di tempat muat lancar, di tempat bongkarnya yang berhari-hari antre. Kadang 2 hari, sampai 3 malam”. Kemacetan antrean ini bisa mencapai panjang 7 km ke belakang. “Gimana mau kejar target?” gerutunya. Mau tak mau para supir harus pandai-pandai dalam mengelola ‘uang jajan’. Bila tak cukup pandai, alamat lah hidup jadi berutang. “kalo gak jalan aja sabtu-minggu udah morat-marit. Udah utangan kiri-kanan” terangnya.

Seperti kata pepatah ‘Mujur tak dapat di raih, Malang tak dapat di tolak’. Seperti itulah nasib Tanjung, ketika tragedi nahas menimpanya 2015 lalu. Saat kejadian itu, ia masih bekerja sebagai supir aspal dan sedang bongkar muat di pabrik tempatnya bekerja. Lem pada selang aspal yang tiba-tiba saja lepas, mengguyur kedua kakinya hingga sebatas betis. “Kena siram aspal dulu, pas masih bawa mobil aspal. Pas lagi bongkar, selangnya, lemnya lepas, langsung nembak kena kaki kita”. Kejadian ini membuat daging-daging kakinya masak. “.....”

Dengan segala tuntutan serta resiko yang luar biasa, justru hasil yang diterima para supir malah tak seberapa. Benar-benar tidak sebanding dengan apa yang mereka hadapi di lapangan. Bahkan tak jarang pabrik-pabrik tempat mereka mengadu nasib tidak menjaminkan BPJS atau ansuransi keselamatan kerja lainnya pada para pekerja. Supir yang mayoritas tidak mengenyam bangku pendidikan dan buta undang-undang, lantas hanya bisa mengamini kata si penguasa. “Ya cemana lagi, kita mau nuntut, yang namanya undang-undang, kita gak tau undang-undang. Ya namanya orang bodoh, pasti di bodoh-bodohi undang-undang. Di bodoh-bodohi orang pintar” jelasnya. 

Meskipun begitu, tak ada hal lain yang dapat dijadikan pilihan baginya. Menjadi supir di nilai satu-satunya pekerjaan yang dapat ia kerjakan dan sedikit banyak mampu menopang kebutuhan hidup.  “Kayaknya gak ada yang bisa mencukupi. Karena jaman sekarang agak payah gitu. Apalagi yang udah tua-tua ni” sambungnya. Terlebih, tak ada batasan usia akhir untuk menjadi supir. Selama ia masih sanggup dan sehat, maka tak ada alasan untuk pensiun. Inilah yang menjadikan Tanjung bertekat kuat untuk tetap menjadi supir selagi masih sehat dan bugar. “Selagi badan sehat, selagi kuat, orang masih mau pakai kita, kita tetap kerja terus” tegasnya.

Namun supir tetaplah seorang rakyat biasa. Maka sebagai rakyat biasa, harap demi harap untuk kehidupan yang lebih layak tetap akan terus terucap. Menanti, andai saja suatu saat nanti pemerintah mendengar dan mengerti, lalu kemudian mengamini. “Cuma kita berharap kepada pemerintah, yang tenaga kerja ini selalu tidak mendapatkan hak sesuai tempatnya. Dari segi kesehatan, tunjangan, segala macam, sesuai aturan pemerintah itu banyak tidak terlaksana. Jadi harapan kami sebagai supir, mudah-mudahan ada lah untuk supir ini tunjangan hari tua agak sedikit jadilah” harap Tanjung. Hidup sejahterah, masih menjadi doa paling serius dalam sanubari semua. Ya, sebuah doa yang masih semoga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lorong Sendu - Puisi

Tuan Semu - Cerpen